Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Daftar isi
Dikisahkan oleh Al Ghazali rahimahullah bahwa Umar bin Khatthab radhiyallahu ’anhu menjumpai Zaid bin Maslamah yang sedang menanami ladangnya. Umar berkata,
“Kau benar. Mandirilah. Jangan bergantung pada orang lain, maka kamu menjadi orang yang paling menjaga agama dan paling mulia.”
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang seseorang yang hanya duduk di rumah atau masjid, tidak bekerja, hanya menunggu rizki? Beliau menjawab,
“Dia orang jahil. Dia tidak mendengar Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku di bawah naungan tombakku.”
Pendapatan, kata Ibnu Khaldun, adalah nilai dari kerja. Pendapatan berbeda dengan rizki. Seseorang bekerja guna memperoleh pendapatan. Bila penghasilan itu memberi manfaat baginya, untuk memenuhi kebutuhannya, maka disebut rizki. Disebutkan dalam hadits,
“Milikmu dari hartamu adalah apa yang kau makan maka habis, yang kau kenakan maka usang, dan yang kau sedekahkan sebagai tabungan akhirat.” (HR. Muslim).
Bila pendapatan itu tidak memberi manfaat bagi pemenuhan kebutuhannya disebut pendapatan (kasb).
Pendapatan adalah buah dari kerja dan usaha. Kerja adalah kewajiban yang diperintahkan. Tidak semua sumber daya yang disiapkan oleh Allah bisa dinikmati secara prasmanan. Harus ada upaya. Dan bagi yang menanam akan memanen.
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS. Al Mulk: 15).
Adapun istri, kewajiban utamanya adalah mengelola urusan keluarga (QS. Al Nisa`: 34). Bekerja mencari nafkah itu mulia. Bekerja itu ibadah. Bahkan Imam Al Qurthuby rahimahullah berkata,
“Allah ta`ala dalam surat Al Muzammil: 20 menyetarakan kebaikan dan keutamaan derajat para mujahid dengan orang-orang yang bekerja mencari harta halal untuk nafkah keluarga.”
Istri diperkenankan bekerja dalam batas-batas yang ditetapkan oleh syara yang selaras dengan karakter ke’perempuan’nya, dengan tetap menyadari bahwa tanggung jawab utamanya adalah mengelola urusan rumah tangga (QS. Al Nisa`: 32).
Tercatat beberapa shahabiyah yang menekuni profesi tertentu, seperti Khadijah, Qailah Ummu Bani Anmar, Zainab binti Jahasy –radliyallahu `anhunna, dan lainnya.
Tidak menghabiskan waktu untuk mengejar dunia. Ada waktu yang digunakan untuk memenuhi hak-hak istri, anak-anak, orang tua dan keluarga (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Mencari pendapatan yang halal dengan cara menekuni profesi yang halal yang ditunaikan secara halal, dan menjauhi profesi yang haram atau cara yang haram meskipun jenis pekerjaannya halal (QS. Al Baqarah: 168).
Pendapatan halal itu menyehatkan sedangkan penghasilan haram itu menyiksa. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan menjual khamr, bangkai, dan patung.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Ibnu Qayyim al Jauziyah menjelaskan hadits ini, bahwa diharamkan tiga jenis yaitu minuman yang merusak akal, makanan yang merusak hati dan kepribadian, dan benda yang merusak agama (syirik).
Sehingga tidak tepat bila memperoleh penghasilan dengan cara merusak akal, hati, dan agama keluarga dan orang lain.
Tidak semua karunia Allah ta`ala dikejar dengan kerja. Dan penghasilan tidak semata berdimensi material. Karunia Allah yang disiapkan untuk hamba-Nya ada yang dicari dengan kerja dan usaha; ada yang diperoleh tanpa keluar keringat (hibah, waris); dan ada yang dijanjikan kepada hamba dengan syarat iman dan takwa.
Karunia Allah juga tidak semata benda. Ada juga barakah, yaitu kebaikan yang melekat pada harta yang diberikan atau kebaikan yang tersimpan meskipun tanpa ada benda yang diterimakan. Inilah rahasia doa pernikahan,
“Semoga Allah memberkahimu di saat hidup senang, dan tetap memberkahimu di saat hidup susah, dan semoga Allah mengumpulkanmu berdua dalam kebaikan.” (HR. Abu Daud).
Tidak hanya ‘kerja dan usaha material’ untuk memperoleh penghasilan, dan tidak hanya makna material yang ditegaskan dalam pendapatan.
Niat baik dalam bekerja menjadi jalan ibadah yang berpahala. Niat diperlukan dalam ibadah. Muamalah dan kebiasan yang mubah (boleh) juga memerlukan niat agar menjadi wasilah mendekat kepada Allah.
Rasululullah bersabda,
“Bila seseorang bekerja dengan niat untuk mencukupi kebutuhan anaknya, orang tuanya, dan dirinya, maka ia di jalan Allah. Tapi, bila bekerja dengan niat untuk membanggakan kekayaan, maka ia di jalan setan.” (Shahih).
Qatadah radhiyallahu `anhu bercerita tentang para sahabat Nabi,
“Mereka sibuk berbisnis. Bila menghadapi kewajiban kepada Allah, maka kesibukan itu tidak membuat mereka lupa mengingat Allah sehingga mereka menunaikannya.” (HR. Imam Al Bukhari).
Ibnu Kastir rahimahullah meriwayatkan bahwa `Arrak bin Malik radliyallahu `anhu bila selesai shalat Jum`at beliau berdiri di pintu masjid berdoa,
“Ya Allah, aku sambut seruan-Mu, aku tunaikan shalat wajib-Mu, dan aku bekerja sebagaimana perintah-Mu, maka berikanlah karunia–Mu kepadaku, dan Engkau sebaik-baik pemberi rizki.”
Umar bin Khatthab radhiyallahu `anhu mengingatkan Sa`ad bin Wahib,
“Sa`ad, antara dirimu dengan Allah tak ada hubungan nasab. Kamu adalah hamba-Nya dan Dia adalah Rabb-mu. Kau akan mendapatkan apa yang ada di sisi-Nya dengan taat kepada-Nya.”
Rasulullah tidak hanya mengajarkan kerja mencari harta, tapi juga memberi contoh doa permohonan dan perlindungan harta dan kekayaan. Di antara doa itu adalah:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِي، وَبَارِكْ لِي فِي رِزْقِي
“Ya Allah, ampuni dosaku, lapangkan rumahku, dan berkahilah rizkiku.” (HR. Al Bukhari dan Ahmad).
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الفَقْرِ، وَالقِلَّةِ وَالذُّلَّةِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
“Ya, Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, sedikit harta, dan hina. Dan aku berlindung kepada-Mu agar tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.” (HR. Abu Daud).
Keuarga muslim hidup dalam suasana syukur dan sabar, qana`ah dan ridha. Karena itu hidupnya selalu diliputi kebaikan. Bila mendapat nikmat, maka keluarga itu bersyukur. Bila menghadapi kesulitan, mereka bersabar (HR. Muslim). Kata Nabi,
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan diberikan oleh Allah sikap qana’ah (rasa cukup) terhadap pemberian-Nya.” (HR. Tirmidzi).
Dalam masalah harta dan kekayaan, keluarga muslim memiliki kiat: melihat yang di bawah, tidak melihat yang atas. Mereka berusaha mengkayakan hatinya, disamping siap menerima berapapun yang dibagi oleh Allah untuk keluarganya.
Wallahu a`lam bisshawab
Baca juga :
Mengenal Allah dengan Al Qur’an
Hukum meratapi kematian dalam Islam
Fenomena meminta hujan dengan binatang
Ikuti kegiatan kami di @yasapeduli