Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Sifat ujub atau berbangga diri adalah perbuatan yang sangat dicela dalam Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Hal ini merupakan penyakit hati yang amat berbahaya. Berbangga diri adalah awal dari lahirnya sifat sombong. Manakala manusia telah memiliki sifat sombong, maka hal itu akan menghambatnya dari berbuat kebaikan, menerima kebaikan dan menghambat ia untuk masuk surga.
Orang yang berbangga diri biasanya ia merasa memiliki kelebihan yang pantas dibanggakan. Karenanya, orang yang berbangga diri ia akan memiliki jiwa yang tidak tenang. Jika sebab ujubnya adalah kekayaan, maka bila ada orang lain yang juga memiliki kekayaan ia akan gelisan dan merasa tersaingi. Sedangkan jika ia ujub karena kekuasaan, maka ia tidak akan suka orang lain mengambil alih posisinya dan ia akan berusaha menghambat jalan orang tersebut menuju kekuasaan. Begitulah seterusnya dalam berbagai hal.
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (QS. At Taubah: 25).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika seseorang berjalan dengan lagak sombong dengan mengenakan dua pakaian dan ia mengagumi dirinya sendiri, tiba-tiba Allah membenamkannya ke dalam bumi, sehingga ia berjungkir balik di dalamnya sampai hari kiamat.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Kebinasaan itu ada pada dua hal, putus asa dan ujub.” Beliau menggabung dua hal ini (putus asa dan ujub) karena kebahagiaan tidak bisa diraih kecuali dengan usaha, keseriusan, dan ketekunan. Sedangkan keputusasaan tidak perlu diusahakan dan dicari. Orang yang ujub mengira ia telah bahagia dan berhasil mencapai apa yang ia inginkan.
Bahaya penyakit ujub sangat besar. Ia mengajak pada kesombongan dan dari kesombongan itulah muncul banyak bahaya yang tidak samar bagi para hamba. Adapun kepada Allah ta’ala, ujub mendorong kepada sikap meremehkan dan melupakan dosa, sehingga ia tidak menggugah perasaan untuk bertaubat.
Orang yang ujub justru mengira amal dan ketaatannya sudah besar dan menyebut-nyebut (dengan kagum) perbuatannya tersebut. Orang yang ujub akan kagum kepada dirinya sendiri dan pendapatnya serta merasa aman dari makar Allah dan siksa-Nya.
Orang yang ujub juga mengira dirinya mendapat tempat di sisi Allah serta tidak mau mendengarkan nasihat orang yang menasihatinya dan peringatan orang yang memperingatinya. Karena ujubnya, ia enggan bertanya kepada ahlul ilmi. Bahaya terbesar ujub adalah pelakunya berhenti berusaha karena menyangka telah beruntung dan tidak membutuhkan. Itulah kebinasaan yang nyata.
Obat setiap penyakit ialah menangkis penyebab-penyebabnya dengan kebalikannya. Salah satu penyebab ujub ialah murni kebodohan. Maksudnya, kebodohan hamba terhadap dirinya sendiri dan Rabb-nya. Karena itu terapinya ialah mengenal (Makrifah) yang merupakan kebalikan dari kebodohan.
Ujub adakalanya terhadap ilmu, harta, atau nasab. Padahal, semua itu anugerah dan karunia Allah ta’ala semata. Allah berfrman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)….” (QS. An Nahl: 53).
Allah juga berfirman, “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…” (QS. An Nisa’: 59).
Sebesar-besar nikmat adalah petunjuk dan bimbingan untuk menun tut ilmu dan beramal. Oleh sebab itu, sumber ujub ialah kebodohan dan kufur pada nikmat Allah ta’ala. Allah berfirman, “Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 21).
Meskipun seorang hamba sampai pada puncak ilmu dan amal, ia tidak akan masuk surga, sehingga Allah ta’ala melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tak seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya.” Para sahabat bertanya, “Begitu pula engkau, ya Rasulullah?” jawab beliau, “Termasuk juga aku, hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Ad-Darimi).
Sebagian ulama mengatakan, “Jangan terpesona dengan banyak amal. Karena anda tidak tahu, apakah amal anda diterima ataukah tidak. Jangan merasa aman dari dosa-dosa. Karena anda tidak tahu, apakah pahala amal anda dilebur ataukah tidak. Semua amal anda samar bagi anda. Sementara harta, seorang hamba tidak memiliki anugerah di dalamnya, tapi murni anugerah dari Allah ta’ala.”
Akhirnya semakin kita sadari bahwa kemunduran, kehancuran dan kejatuhan pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa pada hakikatnya karena kelalaian, kelemahan dan kesalahan dirinya. Karena itu, wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana terdapat dalam banyak hadistnya, terutama yang telah kita bahas ini amat penting untuk mendapat perhatian kita.
Baca Artikel Islami lainnya
Ikuti Kegiatan Terbaru kami