Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Oleh: Defanda Tritya S.Gz
Seperti yang kita tahu, saat ini sudah banyak sekali macam-macam diet yang beredar dikalangan masyarakat terutama remaja putri. Maraknya K-pop yang mana mayoritas memiliki badan yang kurus dan langsing ini merupakan salah satu yang memotivasi remaja untuk mencoba berbagai diet demi menggapai bentuk tubuh seperti idola nya.
Namun, banyak dari mereka yang memilih untuk menjalani diet ekstrim untuk mendapatkan penurunan berat badan dalam waktu cepat. Salah satu jenis diet ekstrim yang kepopulerannya meningkat di akhir-akhir tahun ini yaitu diet ketogenik atau diet dengan menghapuskan nasi dari makanan sehari-hari (Shilpa & Mohan, 2018).
Perkembangan diet ketogenik mulai ramai di Indonesia yaitu sejak awal 2015. Diet ini popular dikarenakan menurut pelaku diet ketogenik, tubuh manusia memperoleh energi dari glukosa yang didapatkan dari karbohidrat dan gula yang kita makan.
Kalau glukosa tidak terpakai karena kebanyakan asupan karbohidrat, maka tubuh akan otomatis menjadikannya sebagai cadangan energi berbentuk lemak dan protein sehingga orang yang kebanyakan mengkonsumsi karbohidrat pasti akan gemuk.
Nah, dalam prinsip ketogenik, kebiasaan tubuh untuk membakar karbohidrat tersebut diubah yaitu dengan cara memaksa tubuh untuk menggunakan cadangan energi (lemak dan protein yang disimpan tadi) sebagai sumber tenaga.
Jadi tubuh harus dibiasakan untuk membakar lemak dan tidak lagi membakar karbohidrat. Oleh karena itu pada diet ketogenik, asupan karbohidrat di hapus dari makanan sehari-hari (Angreni, 2017).
Daftar isi
Diet ketogenik sebenarnya sudah popular sejak tahun 1920-an. Namun, saat itu diet ini masih hanya digunakan sebagai metode terapi epilepsi atau kejang pada anak (Shilpa & Mohan, 2018). Dalam menu sehari-hari, diet ketogenik ini ditandai dengan rendahnya komposisi makanan sumber karbohidrat seperti nasi, mie, kentang, roti dan sebagainya yaitu menjadi hanya 5-10% yang mana biasanya didapat dari bumbu makanan, sayuran hijau dan santan yang dikonsumsi.
Serta tingginya komposisi makanan sumber lemak seperti minyak, alpukat dan sebagainya yaitu menjadi 70-80% dan sisanya yaitu protein sekitar 20-25% (Angreni, 2017; Shilpa & Mohan, 2018). Padahal normalnya, komposisi makanan yang kita makan yaitu karbohidrat 50-65%, protein 15-25% dan lemak 25-30% (Shilpa & Mohan, 2018) sehingga diet ketogenik ini sangat berbeda jauh dengan komposisi makanan pada saat menjalani diet normal.
Pada seseorang yang menjalani diet keto, setelah 3-4 hari membatasi asupan karbohidrat, tubuh akan memaksa menemukan sumber energi alternatif. Sumber energi alternatif tersebut adalah keton yang mana dihasilkan dari pemecahan lemak. Keadaan tubuh saat kadar keton sudah meningkat disebut ketosis (Shilpa & Mohan, 2018).
Ya, diet keto ini dapat memberikan manfaat bagi tubuh karena pada awalnya memang diet ini digunakan untuk mengobati epilepsi/kejang pada anak dan sudah dibuktikan tidak memberikan efek yang menggangu kesehatan lain pada jangka pendek (Shilpa & Mohan, 2018; Krik et al., 2008). Selain itu, dilaporkan juga terdapat peningkatan HDL (lemak baik) dan penurunan total kolesterol pada seseorang yang menjalani diet keto akibat dari efek penurunan gula darah yang dapat menghambat pembentukan kolesterol dan lemak (Shilpa & Mohan, 2018). Namun berdasarkan penelitian, efek tersebut biasanya terbatas dalam waktu (Kosinski & Jornayvaz, 2017).
Belakangan ini, manfaat diet keto memang dibuktikan dapat menurunkan berat badan (Paoli, 2014; Shilpa & Mohan, 2018) dan dapat mengontrol diabetes tipe 2 sehingga penggunaan diet ini dalam manajemen berat badan telah mendapatkan popularitas yang luar biasa (Shilpa & Mohan, 2018; Krik et al., 2008). Namun, diet keto untuk menurunkan berat badan masih menghasilkan beberapa kontrovensi (Paoli, 2014).
Beberapa penelitian menghasilkan bahwa tidak ada keuntungan dengan diet rendah karbohidrat ini. Penurunan berat badan yang dihasilkan oleh diet ini kemungkinan karena memang adanya penurunan asupan kalori yang masuk (Shilpa & Mohan, 2018). Penelitian lain mengatakan, penurunan berat badan yang terjadi dapat juga disebabkan karena proses glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari berbagai macam zat) akibat pembatasan karbohidrat.
Kemungkinan lain terjadinya penurunan berat badan yang dihasilkan oleh diet keto ini yaitu karena menurunnya nafsu makan akibat terjadinya ketosis tadi (Kosinski & Jornayvaz, 2017). Lalu penelitian baru-baru ini juga melaporkan bahwa setelah dilakukan pemantauan selama 2 tahun, didapatkan tidak ada perbedaan atau hanya sedikit perbedaan berat badan antara orang yang menjalani diet rendah karbohidrat dengan orang yang menjalani diet penurunan berat badan dengan tetap mempertahankan keseimbangan zat gizi, walaupun memang pada awalnya diet keto dapat menurunkan lebih banyak berat badan (Naude et al., 2014).
Bagaimana pun akan ada beberapa efek samping dari diet ekstrim seperti diet ketogenik ini. Beberapa efek sampingnya yaitu seperti kram otot, nafas bau dan hilangnya energi untuk beraktivitas (Shilpa & Mohan, 2018).
Selain itu, penelitian baru-baru ini melaporkan bahwa ternyata baik asupan tinggi karbohidrat (lebih dari 60% dari energi) maupun rendah karbohidrat (<30%) sama-sama menunjukan rata-rata kematian yang lebih tinggi dan resiko kematian paling rendah ketika asupan karbohidrat antara 50-60% dari energi atau dalam kategori normal.
Di dalam diet keto, konsumsi sayur, buah dan gandum juga menjadi rendah karena bahan-bahan tersebut mengandung karbohidrat sedangkan konsumsi lemak menjadi tinggi sehingga dapat memberikan efek terganggunya kesehatan seseorang.
Oleh karena itu, bila diet keto ini dijalankan dalam jangka panjang maka diperkirakan akan memicu proses peradangan, stres oksidatif dan mempercepat penuaan (Uribarri et al., 2007). Penelitian baru baru ini juga melaporkan bahwa diet keto faktanya dapat memicu resistensi insulin, defisiensi zat gizi mikro dan kesehatan jantung (Kosinski & Jornayvaz, 2017).
Untuk saat ini, diet keto belum dapat direkomendasikan untuk menurunkan berat badan. Selain karena efek samping yang ditimbulkan seperti yang dijelaskan sebelumnya, masalah terbesar dengan diet ekstrim seperti diet keto ini adalah keberlanjutannya (Shilpa & Mohan, 2018).
Walaupun dalam penelitiannya Paoli et al (2013), dilaporkan terdapat dua orang yang telah berhasil menjalani diet keto dan sukses mencapai penurunan berat badan dalam jangka waktu lama tanpa adanya berat badan yang meningkat kembali (Paoli, 2014).
Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan Shipa & Mohan (2018), orang yang menjalani diet keto sebagian besar perlahan akan merasakan bosan dengan dietnya. Selain itu, kebanyakan mereka merasakan lemah dan stres dan akan mulai meningkatkan asupan karbohidrat nya kembali sehingga lebih mudah untuk kembali ke berat badan awalnya atau dikenal dengan efek yoyo (Shilpa & Mohan, 2018; Paoli, 2014).
Diet ketogenik memang efektif dapat menurunkan berat badan dengan waktu singkat dan dapat memberikan manfaat dalam jangka pendek, mengingat pada awalnya diet ini memang dikhususkan untuk terapi epilepsi pada anak. Namun, dalam jangka panjang, diet keto dapat meningkatkan kesakitan dan kematian serta sangat jarang yang dapat menjalankannya secara berkelanjutan sehingga berat badan akan cepat kembali lagi seperti awal (Shilpa & Mohan, 2018).
Oleh karena itu, diet keto sebaiknya dilakukan di bawah pengawasan dokter/ dietitian yang sudah terlatih (Lukito, 2018) serta membutuhkan lebih banyak penelitian sebelum diet ini direkomendasikan secara luas (Shilpa & Mohan, 2018).
Untuk menurunkan berat badan, akan jauh lebih baik dengan tetap mempertahankan gizi seimbang yang mana mengharuskan adanya semua kelompok makanan disetiap kali makan dengan komposisi karbohidrat 50-65%, protein 15-25% dan lemak 25-30% serta banyak makan sayuran berdaun hijau.
Walaupun tidak dapat menurunkan berat badan dalam waktu singkat namun diet seperti ini dapat bertahan dalam waktu panjang, resiko yang dtimbulkan sedikit , lebih sehat dan juga dapat mencegah penyakit diabetes (gula darah tinggi), penyakit jantung dan beberapa jenis kanker (Shilpa & Mohan, 2018)
Baca Artikel Kesehatan Lainnya
Ikuti Kegiatan Sosial Terbaru Kami