Sempit, Terhimpit, Sedih
Daftar isi
Tak ada sesuatu yang lebih pahit yang dirasakan oleh manusia daripada maksiat. Dan tak ada sesuatu yang lebih dasyhat, lebih buruk, dan lebih keji daripada kejahatan. Banyak orang yang berusaha untuk melupakan kesalahan tapi mereka malah mendapatkan rasa sakit, cemas, putus asa, lemah, dan merasa jauh dari Zat yang Maha Esa.
Padahal, orang yang mendekati Allah, akan Dia dekati dan Dia beri hadiah, sementara orang yang menjauhi-Nya, akan Dia lemahkan dan Dia sengsarakan di dunia dan akhirat.
Pengaruh pertama yang ditimbulkan dosa adalah perasaan sempit, terhimpit, sedih, cemas, dan putus asa.
Pengaruh ini pengaruh yang paling besar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sungguh baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” Dia berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau mengumpulkanku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku bisa melihat?” Allah berfirman,
“Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.” (QS Thaha: 124-126).
Dalam Dar’u Ta’arud al-Aqli wa an Naqli, Ibnu Taimiyah menilai tokoh Mu’tazilah yang bernama Ibnu Khatib atau Ibnul Khattab. Dia menulis, “Orang tersebut jauh dari jalan yang benar. Kalau dia menempuh jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia pasti mendapatkan ridha Allah. Dia adalah orang yang menyitir bait-bait syair berikut:
Demi kebenaranMu! Kalau Engkau memasukanku ke dalam neraka,
Aku akan berkata kepada penghuninya bahwa aku mencintaiNya
Aku menghabiskan usiaku menuntut banyak ilmu dan tujuanku tiada lain hanyalah keridhaan dan kedekatanMu
Bukankah kalian yang mengatakan bahwa orang yang bersungguh-sungguh
Akan mendapatkan pujian dan didekatkan kepadaNya?
Bait-bait syair ini akan lebih indah dan menawan kalau diucapkan oleh orang yang mengetahui jalan menuju Allah. Sayang, orang seperti dia, dan yang lainnya, tidak menempuh jalan takwa. Sebagian dari mereka bahan sampai bunuh diri dan rela hidup kesulitan.
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu), maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az Zumar: 22).
Ketahuilah, siksaan yang paling berat adalah kesempitan jiwa dan kesusahan hidup. Orang-orang yang berpaling dari Allah mendiami gedung pencakar langit, mengendarai kendaraan mewah, dan mendapatkan jabatan tinggi. Namun, mereka berpaling dari jalan Allah, sehingga Allah tidak menerima semua yang mereka lakukan dan menjadikan kehidupan mereka susah dan sengsara.
Pengaruh kedua yang ditimbulkan dosa adalah terhalangnya rezeki.
Terhalang disini ada dua macam: terhalang datangnya dan terhalang berkahnya. Karena itulah, benar apa yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.
“Kebaikan akan memunculkan cahaya pada wajah dan hati, keluasan rezeki, dan kecintaan makhluk. Sebaliknya, kejahatan akan menimbulkan warna gelap pada wajah dan hati, kesempitan dalam rezeki, dan kebencian di dada manusia.”
Ada orang yang tidak menghargai, memanfaatkan, dan mempergunakan rezeki untuk menaati Allah Subhanahu wa ta’ala. Akibatnya, rezeki mereka terhalangi. Sebab, rezeki hanya bisa didapatkan dari Allah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengisahkan bahwa Abu Qasim al-Maghribi bertanya kepadanya,
“Jalan apa yang paling utama untuk mencari rezki?” “Jalan paling utama untuk mencari rezki adalah bersandar kepada Allah Yang Maha Esa dan menyerahkan sebaga urusan kepada-Nya,” jawab Ibnu Taimiyah.
Perhatikan jawaban iman yang agung, pintar, dan cerdas ini. Tidak ada yang memberikan rezeki selain Allah. Hanya Dia-lah yang memberinya. Karena itu, alangkah baiknya kalau rezeki ini dijadikan penunjang untuk mentaati Allah ta’ala.
Terhalangnya rezeki merupakan salah satu pengaruh yang ditimbulkan dosa.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-ngeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahan kepada mereka berkah dari langit.” (QS. Al A’raf: 96).
Sayang, mereka tidak beriman dan tidak mendapatkan petunjuk, sehingga pintu-pintu berkah dan kebaikan tertutup untuk mereka. Singkatnya, banyak harta bukan jaminan tercapainya kebahagiaan. Sebab, kenikmatan harta hanya bisa dirasakan saat digunakan untuk menopang ibadah kepada Allah.
Pengaruh ketiga yang ditimbulkan dosa adalah lupa dengan ilmu.
Kita acapkali bertanya, mengapa kita lupa, salah dan tidak bisa mengingat pengetahuan yang kita miliki? Jawaban semua pertanyaan ini bermuara pada dua hal:
Pembawaan dan fitrah
Mengingat tingkat kecerdasan dan ketakwaan setiap orang itu berbeda-beda. Misalnya saja, Ibnu ar Rawandi, seorang filosof ateis yang dianggap beragama Islam, atau Ibnu Sina yang menolak perintah Allah. Menurut adz-Dzahabi, Ibnu ar Rawandi adalah anjing pelacak yang Allah beri kecerdasan namun tidak diberi kesucian jiwa. Dia adalah orang cerdas tapi tidak suci. Allah melaknat orang cerdas yang mengingkari Tuhan. Dan Allah menghargai orang bodoh yang bertakwa.
Kecerdasan tidak selamanya terkait dengan ketakwaan. Banyak sekali kita temukan ulama yang tidak hapal Al Qur’an dan tidak mengetahui masalah takhrij hadits, padahal dia adalah hamba Allah yang utama dan orang yang paling faqih dalam menuntut ilmu syariat. Dalam sejarah Islam banyak sekali orang besar yang tidak hapal hadits, namun mereka bertakwa, wara’, dan dekat dengan Allah
Kekerasan hati
Sebagaimana firman Allah SWT,
“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarimu.” (QS. Al Baqarah: 282).
Logika terbalik ayat ini adalah, orang yang tidak bertakwa tidak akan diajari oleh Allah. Waki’ berkata, “Demi Allah! Kiat paling jitu untuk menghapal adalah meninggalkan maksiat. Demi Allah! Kiat paling jitu untuk menghapal adalah meninggalkan maksiat!”.
Malik berkata kepada Muhammad ibn ldris asy-Syafi’i, “Muhammad! Aku lihat engkau memiliki keunggulan, dan aku lihat engkau menjadi imam dalam agama ini. Karena itu, hendaklah engkau menjauhi maksiat, sebab maksiat dapat menghilangkan ilmu.” Allah ta’ala berfirman,
“Dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa-apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.” (QS.AI-Ma’idah:13).
Menurut lbnu Taimiyah, “Iupa” dalam ayat di atas bisa bersifat nyata atau kiasan. Ilmu juga bisa dikatakan hilang jika tidak dipraktikkan.
Baca juga :
Berbagi senyuman bersama relawan dan lansia
Larangan mengolok – olok kaum lain
Ikuti kegiatan kami di @yasapeduli