Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al-Qur’an, dan riba jual beli yang juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-Sunnah.
1. Riba akibat hutang-piutang
Disebut Riba Qardh, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
2. Riba akibat jual-beli
Disebut Riba Fadl(), yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi. Seseorang menukar barang berupa emas harus dengan emas pula yang sepadan dan beratnya juga harus sama, perak dengan perak dan harus diserahterimakan secara langsung.
3. Riba Nasi’ah
Yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul dan terjadi karena adanya
perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Kaum modernis memandang riba lebih menekankan pada aspek moralitas atas pelarangannya, dan “menomorduakan” “legal-form” atas riba, seperti yang ditafsirkan dalam fiqh.
Menurut Muhammad Asad:
“Garis besarnya, kekejian riba (dalam arti di mana istilah digunakan dalam al-Qur’an dan dalam banyak ucapan Nabi SAW) terkait dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh melalui pinjaman-pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi atas orang-orang yang berekonomi lemah orang-orang kuat dan kaya. Dengan menyimpan definisi ini di dalam benak kita menyadari bahwa persolan mengenai jenis transaksi keuangan mana yang jatuh ke dalam kategori riba, pada akhirnya, adalah persoalan moralitas yang sangat terkait dengan motivasi sosio-ekonomi yang mendasari hubungan timbal-balik antara si peminjam dan pemberi pinjaman”.
Sedangkan Fazlur Rahman berpendapat bahwa riba:
“Mayoritas kaum muslim yang bermaksud baik dengan bijaksana tetap berpegang teguh pada keimanannya, menyatakan bahwa al-Qur’an melarang seluruh bunga bank. (menanggapi penjelasan tersebut) sedih rasanya pemahaman yang mereka dapatkan dengan cara mengabaikan bentuk riba yang bagaimanakah yang menurut sejarah dilarang, mengapa al-Qur’an mencelanya sebagai perbuatan keji dan kejam mengapa menganggapnya sebagai tindakan eksploitatif serta melarangnya, dan apa sebenarnya fungsi bunga bank pada saat ini”.
Bagi kaum modernis tampak dengan jelas bahwa apa yang diharamkan adalah adanya eksploitasi atas orang-orang miskin, bukan pada konsep bunga itu sendiri (legal-form) menurut hukum Islam, apa yang diharamkan adalah tipe peminjaman yang berusaha mengambil untung dari penderitaan orang lain.
Diambil dari:
Riba dalam Perspektif Islam dan Sejarah Oleh Wasilul Chair