Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, riba telah dikenal pada saat turunnya ayat-ayat yang menyatakan larangan terhadap transaksi yang mengandung riba sesuai dengan masa dan periode turunnya ayat tersebut sampai ada ayat yang melarang dengan tegas tentang riba. Bahkan istilah dan persepsi tentang riba begitu mengental dan melekat di dunia Islam.
Riba merupakan transaksi yang mengandung unsur eksploitasi terhadap para peminjam (debitur) bahkan merusak akhlak dan moralitas manusia. Pengharaman ini tidak hanya berlaku pada agama Islam saja, akan tetapi dalam agama-agama samawi juga melarangnya bahkan mengutuk pelaku riba. Plato (427-347 SM) misalnya, termasuk orang yang mengutuk para pelaku pelipat gandaan uang.
Landasan dari riba dalam al-Qur’an surat al-Imran ayat 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Bila ditinjau dari keseluruhan ayat-ayat riba, seperti al- Baqarah ayat 275 (mengharamkan riba), ayat 276 masih dalam surat al-Baqarah menyatakan bahwa Allah menghapus keberkahan riba dan demikian pula dalam surat al-Baqarah ayat 278-279, yang menegaskan tentang pelarangan riba, meskipun sedikit pengambilan bunga (tambahan) tersebut tetap dilarang, hal ini menunjukkan bahwa tujuan ideal al-Qur’an adalah menghapus riba sampai membersihkan unsur-unsurnya.
Ahli-ahli tafsir menyebut di sini adalah kejadian pada Bani Amr bin Umar dari suku Tsaqief dan Bani al-Mughirah dari suku Makhzum, ketika di masa Jahiliyah terjadi hutang piutang riba. Kemudian ketika Islam datang, suku Tsaqief akan menuntut kekurangan riba yang belum dilunasi tetapi banul Mughirah berkata,
“Kami tidak akan membayar riba dalam Islam”, maka gubernur Mekkah Attab bin Usaid menulis surat kepada Rasulullah SAW, surat tersebut berisi mengenai kejadian hutang piutang antara Bani Amr bin Umar dari suku Tsaqief dengan Bani Mughirah dari suku Makhzum, maka turunlah ayat 278-279 dari surat al-Baqarah ini, maka Bani Amr bin Umar berkata, “Kami tobat kepada Allah dan membiarkan sisa riba itu semuanya.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(Al-Baqarah : 278)
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al-Baqarah : 279)
Diambil dari:
Riba dalam Perspektif Islam dan Sejarah Oleh Wasilul Chair