Ikhlas : Memurnikan Motivasi
“Katakanlah : sesungguhya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS Al An’am: 162-163).
Motivasi itu energi bagi amal yang dilakukan. Motivasi itu menjadi pendorong seseorang untuk bekerja secara maksimal atau membuatnya lupa akan rasa letih. Motivasi tersebut ada yang terlihat bersamaan aktivitas yang dilakukan, dan ada yang tersembunyi karena memang ia berada dalam hati.
Islam memberi perhatian serius pada niat atau motivasi ini. Lurusnya niat dan murninya motivasi karena Allah menjadikan suatu aktifitas duniawi bernilai ukhrawi, dan sebaliknya, kotornya niat akan menjadikan amal ukhrawi tidak berarti di hadapan Allah.
Belajar dari para Nabi dalam menjalankan misi dan tugas dakwahnya, dimana dalam QS. Yunus: 72, Hud: 29, Al Syu’ara: 109, disebutkan bahwa:
“Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka.”
Dan mereka benar-benar ikhlas dan terbebas dari ambisi-ambisi tertentu. Sebab, ada yang lebih besar dari sekedar ambisi-ambisi dunia yang sesaat. Nabi Nuh ‘alaihissalam misalnya, yang menorehkan prestasi dakwah tergolong kecil bila dilihat dari jumlah pengikutnya, tetapi di mata Allah ia mendapat penghargaan luar biasa berupa gelar ulul azmi, karena keikhlasannya.
Ikhlas adalah harapan pada keridhoan Allah dan pahala melalui semua ucapan, amal dan pengabdian yang dilakukan tanpa didorong oleh kepentingan pribadi, kemewahan, pangkat, gelar, jabatan dan sebagainya. Ia khwatir bila amal-amal baiknya dilihat orang lain, dan tidak khawatir bila kekurangan dan sisi negatifnya dilihat orang lain.
Keikhlasan berarti memenuhi perintah Allah tanpa mempertimbangkan keuntungan pribadi. Keikhlasan itu energi yang mampu menjaga semangat bekerja, yang ia tidak peduli dengan pujian dan perhatian orang lain. Ikhlas itu bekerja dan bertugas bukan untuk mencari popularitas. Hal ini berat, karena kata Al Ghazali, popularitas adalah fitnah bagi mereka yang lemah, tidak bagi yang kuat.
Orang ikhlas itu tidak cepat merasa puas pada hasil kerjanya. Selalu menganggap kurang dalam menunaikan tugas dan kewajian, meskipun ia telah menunaikannya dengan penuh tanggung jawab. Ia tidak terpesona oleh hasil yang ia capai, takut terjadi kesombongan, khawatir kalau pekerjaan yang ia tekuni gagal mendapat pahala dari Allah karena ia tidak mampu mengelola hatinya.
Ikhlas itu menjadi profesionalisme dan berprestasi dalam setiap level jabatan. Ia profesional dan berprestasi saat menjadi bawahan dan juga profesional serta berprestasi ketika menjadi pemimpin. Sebagaimana Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu, panglima perang yang di tengah hiruk pikuk pertempuran, ia menerima sepucuk surat dari khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu.
Surat itu berisi keputusan pergantian panglima perang dari Khalid bin Walid ke Abu Ubaidah bin Jarrah. Setelah membaca surat itu Khalid tetap berada di garis terdepan, tidak surut ke belakang dan berkata,
“Aku berperang bukan karena Umar, tetapi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ikhlas itu berharap keridhoan Allah, bukan keridhaan manusia. Ikhlas itu mencintai atau membenci, memberi atau tidak memberi, menerima atau menolak, semuanya dilakukan karena Allah dan agamanya, bukan karena pribadi dan kepentingannya. Seseorang yang ikhlas akan termotivasi meningkatkan kapasitas diri ketika melihat yang lebih, bukan menghambat orang yang lebih karena takut tersaingi.
Sementara ikhlas bagi pemimpin adalah mempersiapkan program peningkatan kualitas dan kapasitas anggotanya. Ukuran keberhasilan pemimpin juga diukur melalui suksesnya kepemimpinan generasi penerusnya. Selain itu, ikhlas itu berarti siap memberi dan menerima nasihat dan saran.
“Sesungguhnya amal sesorang bergantung pada niat, dan dia akan memperoleh apa yang dia niatkan. Barang siapa yang berhijrah karena dunia yang akan didapat atau karena wanita yang akan dinikahi, maka itulah yang akan didapatkan. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu murni kepada Allah dan Rasu-lNya.” (Shahih Bukhari, No. 1; Sunan Abu Daud, No. 1882).
Baca juga :
Hukum meratapi kematian dalam islam
Fenomena meminta hujan dengan binatang
Bakti sosial dan cek kesehatan di Donomulyo
Ikuti kegiatan kami di @yasapeduli