Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

perkara

4 Perkara yang Tidak Merugikan

Empat Perkara Yang Tidak Merugikan

Setiap manusia pasti menginginkan keberuntungan dalam hidup ini. Karenanya manusia selalu berusaha untuk meraih keberuntungan itu baik berupa materi, kepercayaan dari orang lain, jabatan yang tinggi, popularitas yang tidak tertandingi, pasangan hidup yang sesuai keinginannya, keturunan yang menyenangkan, dan sebagainya.

Namun tidak semua keinginan duniawi manusia bisa diraihnya. Ada banyak orang yang berambisi untuk mendapatkan banyak hal dari kenikmatan duniawi tapi dia tidak memperolehnya.

Bagi seorang muslim, manakala keinginan duniawinya tidak tercapai, dia tidak akan menganggap hidupnya sia-sia, apalagi sampai putus asa. Sebagai seorang muslim kita menyadari bahwa tugas kita adalah berusaha dan bekerja dengan sebaik-baiknya. Seandainya kita tidak mendapatkan apa-apa di dunia ini, masih ada harapan yang lebih mulia untuk diraihnya, yakni keridhaan Allah dan surga yang penuh dengan kenikmatan.

Karenanya bila kenikmatan duniawi itu tidak diraihnya, dia tidak merasa hal itu sebagai kerugian besar, karena yang menurutnya rugi bukanlah orang yang tidak memperoleh kenikmatan duniawi, tetapi memang Allah Ta’ala tidak menjadikan ukuran duniawi sebagai patokan tentang kesuksesan atau kerugian bagi seorang hamba.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا

“Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi kebaikan orang mukmin yang diberikan di dunia dan akan dibalas di akhirat, sedangkan orang kafir diberi makan karena kebaikan-kebaikan yang dikerjakan karena Allah di dunia hingga ia menuju akhirat tanpa memiliki suatu kebaikan pun yang bisa dibalas.” (HR. Muslim, No. 5022).

Pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas menyadarkan kita bahwa menjadi seorang Mukmin adalah sebuah keberuntungan, sebab dengan status tersebut, maka amal dan kebaikan kita akan diberi pahala dan balasan oleh Allah Ta’ala di dunia hingga akhirat. Sedangkan kebalikannya, orang kafir hanya sebatas mendapat balasan di dunia semata. Di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan balasan sebagaimana kondisi orang mukmin.

Oleh karena itu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan resep (empat perkara) kepada kita untuk merasa tidak rugi dalam menjalani kehidupan di dunia ini meskipun tidak memperoleh kenikmatan duniawi.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مِمَّا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا:

 حِفْظُ أَمَانَةٍ وَصِدْقُ حَدِيْثٍ وَحُسْنُ خَلِيْقَةٍ وَعِفَّةُ مِنْ طُمْعَةٍ

Empat perkara, apabila keempatnya ada padamu, maka tidak merugikan engkau dari apa yang tidak engkau peroleh dari dunia. Yaitu, menjaga amanat, benar dalam berbicara, akhlak yang baik, dan tidak serakah dalam makanan.” (HR. Ahmad, Thabrani, Hakim dan Baihaqi).

Kita akan mencoba mengupas terkait empat perkara tersebut dengan harapan kita bisa merasakan kebahagiaan hidup di dunia ini, kebahagiaan yang sejati, bukan kebahagiaan yang semu. Empat perkara tersebut diantaranya yaitu menjaga amanah, benar dalam berbicara, akhlak yang baik, dan juga tidak serakah. Berikut adalah penjelasannya :

Menjaga Amanah

Kehidupan ini memang tak terlepas dari amanah. Jasmani yang sehat, harta yang banyak, ilmu yang luas, kedudukan yang tinggi, istri yang cantik dan solihah, keturunan yang banyak dan sebagainya merupakan amanah yang diberikan Allah Ta’ala kepada kita. Belum lagi kepercayaan orang lain yang diberikan kepada kita dalam berbagai hal.

Semua amanah itu harus dijaga dan digunakan dengan sebaik-baiknya. Manakala seseorang tidak memiliki sifat amanah, maka keimanan dianggap tidak ada dalam dirinya. Dan jika dia selalu mengkhianati amanah yang diberikan kepadanya, maka ia dianggap tidak memiliki agama, meskipun bila ia menganut agama.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Tidak beriman orang yang tidak memegang amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati.” (HR. Ahmad).

Dengan demikian, tatkala kita memiliki harta, menunuaikan amanatnya adalah dalam bentuk membelanjakannya untuk kebaikan dan mengeluarkan zakat, infaq, sedekah serta wakaf. Sementara jasmani yang sehat adalah untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala dan berjuang di jalannya. Ilmu yang luas untuk meningkatkan martabat kehidupan manusia. Sedangkan kedudukan yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Oleh karena itu, disaat kita ingin memberikan amanah kepada seseorang, berikanlah kepada orang yang ahli agar dapat menghindari kehancuran. Apabila seseorang selalu menunaikan amanah yang diberikan kepadanya, maka dia akan menjadi manusia yang istimewa, meskipun ia tidak memperoleh kenikmatan duniawi.

Benar Dalam Berbicara

Berbicara yang benar adalah salah satu dari ciri orang beriman. Menjaganya berarti sudah memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh jaminan surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku untuk memelihara di antara rahangnya (mulutnya) dan di antara kedua pahanya (kemaluan) niscaya aku menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari).

Orang yang kaya, cantik atau tampan, populer, tinggi kedudukannya bahkan dianggap terhormat di dalam masyarakat, tapi jika tidak benar dalam berbicara, maka ia akan menjadi manusia yang sangat hina di hadapan Allah Ta’ala dan rendah kedudukannya di hadapan semua manusia. Oleh karena itu, kita memiliki keharusan untuk menjaga diri dari bahaya lidah.

Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk selalu berusaha benar dalam berbicara. Baik benar dalam masalah yang dibicarakan maupun benar penggunaan bahasanya. Itu pula sebabnya, mengapa salah satu tanda orang munafik adalah dusta atau bohong dalam pembicaraannya.

Al Quran sendiri menegaskan bahwa setiap pembicaraan ada pertanggung-jawabannya di hadapan Allah Ta’ala. Karenanya ucapan kita dicatat oleh malaikat yang selalu menyertai manusia di kanan dan kirinya.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf : 18).

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata,

“Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan.”

Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah rahimahullah pernah berkata,

“Sungguh aneh! Seorang manusia bisa mengendalikan dirinya dari berbagai perkara yang diharamkan, akan tetapi amat berat baginya mengendalikan ucapan lisannya. Anda melihat seorang yang dipandang alim agamanya, zuhud terhadap dunia, dan ahli beribadah, namun ia berbicara dengan kata-kata yang tanpa disadarinya mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu wa ta’ala dan menyebabkan ia tergelincir ke dalam neraka sejauh jarak antara timur dan barat.”

Akhlak Yang Baik

Akhlak yang baik merupakan kekayaan yang paling mahal harganya bagi seorang muslim. Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Itu pula sebabnya, manakala orangtua telah mendidik akhlak anaknya dengan baik, hal itu menjadi pemberian yang sangat berharga ketimbang pemberian materi yang paling mahal sekalipun.

Rasulullah bersabda,

Tidak ada pemberian yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya yang lebih baik dari pendidikan adab (akhlak) yang baik.” (HR. Tirmidzi).

Meskipun seseorang, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara telah mencapai kemajuan dan kemakmuran yang besar, hal itu bisa saja kita rasakan sebagai sesuatu yang tidak ada artinya kalau masyarakat tidak memiliki akhlak yang mulia.

Seorang ulama dari Mesir yang bernama Syauqi Bey berkata,

Suatu bangsa akan tegak apabila baik akhlaknya. Bila akhlaknya hancur, maka hancur pula bangsa itu.”

Tidak Serakah

Sifat serakah atau tamak adalah salah satu sifat tercela. Meskipun seseorang telah memperoleh materi yang banyak, tapi jika ia tidak bersyukur dan tidak ada puasnya, maka ia mendapati dirinya terasa miskin.

Keserakahan ternyata bukan hanya membuat seseorang tidak pandai bersyukur, tetapi juga untuk memperoleh kenikmatan yang lebih banyak ia akan menempuh cara-cara yang tidak halal dan merampas hak-hak orang lain. Meskipun mereka yang dirampas haknya itu tergolong miskin atau jauh lebih miskin darinya.

Rasa syukur kepada Allah Ta’ala membuat seseorang memperoleh keberuntungan yang besar. Karena memang sudah janji Allah untuk menambah nikmat-Nya kepada siapa saja yang bersyukur. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7).

Sementara orang yang serakah akan mengalami kerugian bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dia tidak memiliki rasa optimis terhadap hari-hari mendatang. Selalu curiga dan iri terhadap kemajuan serta kebaikan yang dicapai orang lain. Dan pada akhirnya ia tidak disukai oleh Allah Ta’ala dan sesama manusia.

Ketika seorang sahabat datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna menanyakan tentang amalan yang akan membuat manusia dicintai Allah Ta’ala dan manusia lainnya, Rasulullah menjawab,

Hiduplah di dunia dengan zuhud (bersahaja), maka kamu akan dicintai Allah. Dan janganlah tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya kamu akan disenangi manusia.” (HR. Ibnu Majah).

Ketamakan kepada dunia menyebabkan seseorang terlena, sehingga lupa tujuan hidupnya. Tersibukkan dengan mengejar dunia yang fana hingga ia sedikit sekali mengingat Allah Ta’ala, bahkan banyak yang melupakan-Nya.

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata,

“Mereka cepat berbuat dosa dan menunda-nunda taubat. Mereka berkata, ‘Saya akan bertaubat, saya akan beramal.’ (Tetapi mereka tidak melakukannya) sampai akhirnya kematian datang kepada mereka dalam keadaan mereka yang paling jelek dan amalan yang paling buruk.

Selayaknya kita sadari jika keberuntungan dalam hidup ini tidak bisa semata-mata kita ukur dengan tinjauan materi. Karena itu, seandainya seseorang tidak memperoleh kenikmatan materi sekalipun, ia masih tergolong orang yang beruntung manakala menjalani kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Itulah empat perkara yang tidak merugikan bagi manusia. Semoga kita bisa mengamalkan empat perkara tersebut dengan baik.

 

Baca juga :

Mengenal Allah dengan Al Qur’an

Hukum meratapi kematian dalam Islam

Fenomena meminta hujan dengan binatang

Ikuti kegiatan kami di @yasapeduli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *