Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Kala itu, di penghujung tahun 12 Hijriyah, Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu mengirim pasukan untuk membebaskan negeri-negeri Syam dari cengkeraman Romawi. Sahabat Amr bin Ash radhiyallahu’anhu dipilih sebagai panglimanya.
Pada perang tersebut, jumlah pasukan Islam 40.000 orang, sedangkan jumlah pasukan Romawi 200.000 orang. Skala perbandingannya adalah satu banding lima. Kesudahannya, dengan izin Allah, pasukan Muslimin berhasil memenangkan pertempuran tersebut.
Jumlah tidak seimbang, tetapi pasukan yang sedikit itu bisa mengalahkan pasukan yang lima kali lipat lebih banyak. Apakah penyebabnya?
Salah seorang komandan Romawi mengutus seorang Nasrani Arab untuk menyelidiki kondisi para sahabat dari dalam. Sepulang dari menjalankan tugas, utusan itu melaporkan,
“Kami mendapati mereka sebagai suatu kaum di mana mereka seperti pendeta di malam hari dan seperti penunggang kuda di siang hari. Demi Tuhan, kalau seandainya anak raja mereka mencuri, pasti mereka akan memotong tangannya.
Atau kalau seandainya ia berzina, pasti mereka merajamnya.” Panglima Romawi, Qaeqalan, berkomentar, “Demi Tuhan, kalau Anda benar, perut bumi tentu lebih baik daripada permukaannya.”
Terdapat beberapa kaidah yang dapat diambil dari ungkapan di atas. Diantaranya adalah, pertama, kaidah keseimbangan. Tentu kita tidak menganggap bahwa kemenangan kaum Muslimin hanya ditentukan oleh khusyu’-nya mereka dalam shalat malam dan ibadah lainnya.
Juga tidak beranggapan bahwa kemenangan mereka diraih berkat keahlian mereka di medan perang, atau kehebatan mereka mengendarai kuda dan memainkan pedang, atau juga karena persenjataan yang lebih canggih. Apalagi saat itu jumlah pasukan kaum Muslimin lebih sedikit dari lawan.
Kemenangan sejati, kuncinya adalah keseimbangan. Sebab, kekuatan keimanan kaum Muslimin dipadukan dengan keahlian dalam pertempuran dan menunggang kuda menjadi sebuah perpaduan sempurna yang menjadi inti kekuatan dalam kemenangan itu. Hal yang menjadikan Qaeqalan mengatakan lebih memilih mati saja daripada hidup untuk menghadapi kaum muslimin.
Islam datang mendesain kepribadian para sahabat secara seimbang antara ‘otot’, ‘otak’, dan ‘hati’, sehingga menjadi manusia sempurna. Kekuatan otot dan otak yang tidak diimbangi dengan hati yang bersih akan menjadikan seseorang berkepribadian kasar.
Ciri-ciri kebinatangan lebih mendominasi ketimbang kemanusiaannya. Demikian pula sebaliknya, kekuatan ruhiyah atau kekuatan hati yang tidak didukung oleh kekuatan fisik dan pikiran bisa menjadikan Islam lemah secara materi, mudah dipersekusi dan dizalimi. Tentu hal ini bukanlah sebuah keseimbangan untuk mencapai kemenangan.
Kedua, Pelajaran lain yang bisa kita ambil adalah kebersihan hati dan kekuatan jiwa merupakan inti serta modal bagi lahirnya amal. Jika hati bersih, seluruh organ tubuh menjadi bersih dan lahirlah aktivitas amal yang bersih. Hali ini juga bisa menjadi inti kekuatan dalam kemenangan itu.
Ini berkebalikan dengan kondisi jika organ tubuh saja yang bersih, sedangkan hatinya kotor, jiwanya rapuh, maka belum tentu dia akan mau melakukan amal kebaikan. Bahkan, bisa jadi dia akan menjadi seorang yang gemar berbuat kerusakan dan kemaksiatan,
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad; dan jika rusak, rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hati yang bersih dan jiwa yang suci menjadi jaminan bagi tergeraknya fisik dan pikiran untuk melakukan aksi amal nyata. Karena iman selain sebagai dasar beramal, ia juga energi untuk melahirkan amal. Makin besar energi yang tersedia, makin banyak amal yang bisa dilakukan.
Sebaliknya, jika energi iman kecil, maka dorongan amal pun menjadi kecil dan daya tahan beramal juga menjadi kecil. Seorang mukmin hendaknya banyak melakukan aktivitas keimanan dan membersihkan jiwanya.
Syaikh Jum’ah Amin rahimahullah berkata,
“Mereka bisa menjadi para penunggang kuda di siang hari karena mereka telah terlebih dahulu menjadi rahib-rahib di malam hari.”
Muslim yang berkualitas adalah yang mau memberi dan berkorban. Dia mengorbankan tenaga, pikiran, harta, dan waktunya untuk Islam dan kemaslahatan umat Islam. Memberi yang bersumber dari ketulusan niat dan kesucian akidah akan menampakkan buahnya sepanjang masa, yang tak kenal musim, dan tak berubah oleh perubahan cuaca.
Tidak akan membuatnya melambung oleh tingginya sanjungan dan tak akan tenggelam oleh hinaan. Karena bukan untuk sanjungan ia memberi, bukan untuk manusia ia berkarya, dan bukan untuk kedudukan ia berkorban. Semuanya adalah bagian dari pengabdiannya kepada Rabb-nya,
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upah ku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu’araa: 109).
Memberi yang tidak bersumber dari ketulusan niat dan kebersihan akidah tidaklah permanen. Ia akan mudah kecewa jika maksudnya yang selain ridha Allah tidak diperoleh. Oleh sebab itu, sejak pertama kali menerima wahyu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah diingatkan Allah Ta’ala agar tidak berharap balasan dari apa yang diberikan kepada umat,
وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ
”Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) lebih banyak.” (QS. Al Muddatstsir: 6).
Akidah kita harus bersih dari noda-noda syirik agar amal kita diterima oleh Allah Ta’ala. Kesyirikan hanya akan mengotori kesucian amal. Kesyirikan membuat pelakunya terjajah oleh tuhan-tuhan sekutu itu dan jauh dari kemenangan sejati.
Ibadah kita juga harus bersih dari unsur bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, serta harus dilandasi oleh ilmu dan kejelasan tentang semua yang kita kerjakan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewariskan agama ini begitu jelas dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yang menyimpang darinya selain ia akan tersesat.
Akhlak kita harus bersih dan terpuji, sebagai buah dari kebersihan akidah kita. Ia merupakan pesona seorang Muslim yang dengan itu membuat orang lain terpikat oleh diri dan dakwahnya. Seruan dan ajakannya akan diindahkan orang karena apa yang keluar dari mulutnya selaras dengan perilakunya.
Inilah jalan sukses yang telah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-nya. Sebuah jalan yang tidak akan berubah sampai kapan pun, sebab ini adalah sebuah sunatullah. Barangsiapa yang ingin memperoleh kemenangan sejati dalam hidupnya, kemenangan di dunia dan akhirat, maka tempuh-lah jalan tersebut.
Baca juga :
Mengenal Allah dengan Al Qur’an
Hukum meratapi kematian dalam Islam
Fenomena meminta hujan dengan binatang
Ikuti kegiatan kami di @yasapeduli