Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Daftar isi
Dalam pandangan umum keluarga, landasan berkeluarga dalam Islam adalah minimal terdiri dari suami dan istri. Dijelaskan dalam firman Allah suart Al-Baqarah ayat 21 bahwa Allah SWT memberikan tuntunan bagaimana memilih pasangan, suami atau istri yang menjadi cikal bakal dari sebuah keluarga.
Pemilihan pasangan, suami atau istri, merupakan suatu hal yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam membentuk rumah tangga, karena kekuatan bangunan rumah tangga itu sangat tergantung pada suami dan istri sebagai pilar utamanya.
Kekuatan pilar utama itu akan ditemukan pada kekuatan iman dan ketaatan dalam menjalankan tuntunan Allah. Oleh karena itu, tuntunan pertama dan utama yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mendirikan rumah tangga adalah keimanan. Lantas bagaimana dengan hukum nikah beda agama?
Hukum nikah beda agama menurut hukum negara adalah tidak sah. Mengapa? Merujuk pada Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Ketentuan pasal tersebut juga diperkuat dengan fatwa MUI mengenai hukum nikah beda agama. Dimana MUI menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah haram. Hal tersebut termuat dalam Fatwa MUI Nomor : 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
Al-Qur’an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 221 :
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu’min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman.
Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS.Al-Baqarah : 221).
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi yang bersumber dari al-Muqatil adalah berkenaan dengan Ibnu Abi Mirtsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi ‘Anāq.
‘Anāq adalah seorang wanita Quraisy yang miskin tapi cantik, namun masih musyrik, sedangkan Ibnu Abi Mirtsad seorang Muslim. Lalu Allah menurunkan ayat ini. (Ali Ibnu Ahmad al-Wāhidī al-Naysābūrī, Asbāb al-Nuzūl, (Kairo: Maktabah al-Manār, th.1388H/ 1968M), hlm. 39)
Hukum nikah beda agama tidak diatur dalam Undang-Undang perkawinan. Karena didalam UU perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak dikenal istilah perkawinan antar agama sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1, yaitu
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.
Undang-Undang Pekawinan hanya mengatur tentang perkawinan di luar Indonesia dan perkawinan campuran.
Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hasil Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 1991 yang ditandatangani Presiden pada tanggal 10 Juni 1991 dan tanggal 22 Juli 1991 diperkuat oleh KMA No.154 Tahun 199l tentang pelaksanan Inpres tersebut.
Menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga pernikahan beda agama belum bisa diresmikan di Indonesia. Pernikahan pasangan beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Tidak mencapai tujuan pernikahan atau dalam Al-Quran disebut dengan istilah Sakinah. Sakinah menjadi tujuan dari sebuah pernikahan yang mengharapkan kebahagiaan, kedamaian, keberkahan, dan mendapat ketenangan batin.
Menurut Prof. DR. Quraisy Shihab, hukum nikah beda agama menjadi tidak sah karena larangan perkawinan antar agama yang berbeda itu dilatar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga.
Perkawinan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, latar belakang sosial atau bahkan perbedaan tingkat pendidikanpun tidak jarang mengakibatkan kegagalan dalam perkawinan.
Para ulama pun sepakat bahwa prasyarat penting yang harus dipenuhi seseorang dalam mencapai sakinah dalam rumah tangganya adalah sesuai dengan hadits Rasulullah SAW: Fazfar bidzatiddin.
“Tolak ukur keberagamaan seseorang adalah yang paling utama Seperti yang tercermin dalam keluarga Rasulullah SAW. Rasulullah SAW dapat merasakan suasana surgawi (baiti jannati) dalam rumah tangganya, karena semua anggota keluarganya adalah orang-orang yang taat kepada Allah SWT”
Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin perkawinan seseorang bisa mencapai suasana sakinah jika tidak dilandasi dengan keyakinan yang sama?. Jawabanya adalah tidak mungkin, kalaupun mereka terlihat “bahagia” pasti kebahagiaan yang semu. Sebab dalam pandangan Islam, hakekat kebahagiaan itu adalah ketenangan batin (ithmi’nanul qolb) dan hal itu hanya akan didapat ketika orang dekat dengan Tuhannya.
Oleh karena itu, apabila melawan hukum nikah beda agama yang telah jelas tidak dianggap sah. Maka, tidaklah menutup kemungkinan bahwa pernikahannya tidak akan bahagia.
Baca juga :
Mengenal Allah dengan Al Qur’an
Hukum meratapi kematian dalam Islam
Fenomena meminta hujan dengan binatang
Ikuti kegiatan kami di @yasapeduli