Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Menikah siri menjadi kalimat yang tidak asing di dengar oleh masyarakat Indonesia. Pasalnya, menikah siri ini menjadi marak dilakukan terlepas dari pro kontranya. Pernikahan siri ini memang lumrah terjadi, namun memiliki banyak kelemahan seperti legalitas hukum untuk mengurus akta kelahiran anak. Tentunya hal tersebut menimbulkan berbagi pertanyaan, seperti bagaimanakah hukum nikah siri dalam agama Islam?
Sebeum mengetahui hukum nikah siri, nikah siri sendiri adalah nikah yang dilakukan secara diam-diam atau dirahasiakan. Kata siri juga dalam Bahasa Arab berarti sirr, yang artinya rahasia atau diam-diam. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh wali dan saksi saja, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah siri juga dipahami sebagai pernikahan yang tidak dicatat di KUA atau pernikahan di bawah tangan.
Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-‘ursy.
Dalam hadis dikatakan,
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” (HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah). Hadis lain menyebutkan bahwa “Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing” (HR. al-Bukhari dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf).
Dua hadis ini mengindikasikan bahwa pernikahan tidak boleh dilakukan secara rahasia (sir) melainkan harus diumumkan ke khalayak ramai.
Secara agama Islam, hukum nikah siri sudah sah secara agama, tetapi tidak sah menurut hukum nikah siri yang berlaku di Indonesia. Bahkan, ada sebagian orang yang menganggap praktik nikah siri ini bisa dilakukan tanpa wali pihak istri. Padahal aturannya tidak seperti itu. Jika memang menikah tanpa wali, maka hukum nikah siri adalah tidak sah baik secara agama maupun secara hukum.
Ada hadis yang diriwayatkan Khomsah tentang pentingnya peranan wali dalam pernikahan.
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”
Pernikahan juga mesti disaksikan para wali dan saksi, terutama wali pihak mempelai perempuan. Karena jika tidak, maka tidak sah pernikahannya.
“Perempuan manapun yang menikah tanpa mendapatkan izin walinya, maka pernikahannya batil atau tidak sah.”
Majelis Ulama Indonesia menyampaikan bahwa secara agama hukum nikah siri memang sah, namun pernikahan tersebut tidak ada kekuatan hukum, atau tidak legal secara hukum yang berlaku. Jika tidak berbadan hukum, baik pihak suami, istri maupun anak akan menderita kerugian akibat pernikahan tersebut. Salah satunya, yakni kesulitan mengurus akta kelahiran.
Bukan hanya itu, anak hasil menikah siri pun akan sulit mendapatkan haknya, seperti hak nafkah sehari-hari serta hak waris. Oleh karena itu, ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi yang terkait, seperti Kantor Urusan Agama (KUA).
Hukum nikah siri yang sah harus memenuhi syarat dan rukun dari menikah itu sendiri. Sehingga, MUI berpandangan tujuan pernikahan seharusnya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Hukum nikah siri menjadi haram, jika upacara ‘sakral’ tersebut hanya dijadikan alasan untuk menghalalkan hubungan biologis. Mencari kepuasan nafsu seks, tanpa ada niat membangun mahligai rumah tangga.
“Katakanlah kepada laki-laki mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…” Al-Quran surah An-Nur ayat 30.
Sebaliknya, Islam membenarkan pelaksanaan nikah siri jika dilakukan sebagai perantara terlaksananya pernikahan resmi, berdasarkan peraturan pemerintah.
Mengapa peristiwa nikah siri perlu dicegah? Nikah siri ini bertentangan dengan sunnah Nabi SAW. Karena menurut keterangan beberapa hadis, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan supaya pernikahan itu diumumkan dengan mengundang orang-orang lalu disajikan hidangan dan diadakan hiburan kalau memungkinkan.
Maka dikenal istilah ‘walimatun nikah’, jamuan pernikahan. Ini bukan perbuatan riya tetapi untuk menepis kecurigaan dan mempertegas kesakralan pernikahan. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW melihat bekas kuning pada (leher) Abdurrahman bin ‘Auf.
Ketika ditanyakan ia menjawab,
“Ya Rasulullah SAW, saya baru menikahi seorang perempuan dengan maskawin setimbang satu biji dari emas”. Maka Beliau bersabda, “Semoga Allah berkahi kamu, buatlah walimah (jamuan) walaupun dengan seekor kambing”.
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitabnya Minhajul Muslim menjelaskan. Selain ada yang namanya syarat dan rukun nikah, juga yang tak kalah pentingnya adalah etika dan sunnah nikah yang sama-sama harus dipenuhi. Di antara etika dan sunnah nikah tersebut yaitu: Khutbah nikah dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah dan washiat takwa dengan mengutip sekurangnya 3 ayat yang memerintahkan supaya bertakwa kepada Allah SWT.
Firman Allah dalam surat Al-Ahzab [33] ayat 70-71 :
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.
Karena takwa ini merupakan bekal utama perjalanan, tak kecuali perjalanan rumah tangga untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Walimah, yaitu makanan yang dihidangkan pada waktu merayakan pernikahan. Orang yang diundang untuk hadir pada walimah ini wajib hadir.
Berdasarkan sabda Nabi saw,
“Barangsiapa yang diundang untuk menghadiri walimah pernikahan atau yang lainnya, hendaklah dipenuhi” (HR. Muslim).
Dimeriahkan dengan memukul rebana yang diiringi lagu yang diizinkan. Nabi saw bersabda,“Sesuatu yang membedakan antara yang halal dengan yang haram adalah rebana dan suara (nyanyian)” (HR. Ashabussunan).
Mendoakan pengantin dengan doa, “Semoga Allah melimpahkan berkah kepadamu dan semoga menghimpun kalian berdua dalam kebaikan” (HR. Tirmidzi).
Hikmah dari adanya etika dan sunnah nikah ini adalah untuk lebih memberikan dukungan moral dan sosial tentang pentingnya mengekalkan bangunan rumah tangga. Kalau diibaratkan menanam tanaman, etika dan sunnah nikah itu ibarat pupuk dan siraman air untuk menyuburkan tanaman yang baru ditanam.
Sehingga bagi pengantin menjadi modal sosial dan memiliki tanggung jawab moral untuk mempertahankan bangunan rumah tangga sekalipun banyak rintangan dan badai yang menghadang. Berbeda dengan nikah siri yang terkesan longgar dan kurang dukungan sosial. Sehingga dapat memperlemah posisi daya tawar rumah tangga.
Bahkan dalam beberapa kasus pihak perempuan dan anak menjadi pihak yang dirugikan. Misalnya dengan entengnya pihak suami meninggalkan dan mencampakkan anak isterinya. Sementara pihak isteri tidak bisa berbuat banyak karena tidak memiliki bukti yang kuat. Anak pun tidak bisa mengurus akta lahir misalnya karena orangtuanya tidak memiliki surat nikah.
Tentu hal ini membawa dampak tidak maslahat bagi kelangsungan rumah tangga dan anak keturunan ke depan.
Oleh karena itu, dapat dipahami apabila pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, mengusulkan pemidanaan dalam draf RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.
Tujuannya jelas, untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak dalam kelangsungan rumah tangga. Karena rumah tangga atau keluarga itu merupakan unit terkecil dari bangunan sebuah bangsa. Apabila bangunan keluarga tidak kokoh maka akan berpengaruh besar terhadap keutuhan tatanan sebuah masyarakat dan bangsa ke depan. Islam pun sangat mencemaskan nasib generasi dalam sebuah keluarga apabila lemah dan tidak berkualitas.
Itulah hukum nikah siri dalam islam yang harus diketahui oleh umat muslim.
Baca juga :
Mengenal Allah dengan Al Qur’an
Hukum meratapi kematian dalam Islam
Fenomena meminta hujan dengan binatang
Ikuti kegiatan kami di @yasapeduli