Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

nadzar

Hukum Bernadzar Kurban

Nadzar Berkurban Dan Hukumnya

Mendengar kata kurban dalam Islam merupakan hal cukup familiar mengingat kurban adalah suatu amalan yang dapat dilakukan ketika hari raya idul adha. Kegiatan berkurban adalah kegiatan penyembelihan hewan kurban (sapi, kambing, domba, unta) oleh donatur/orang yang mampu yang kemudian dibagikan kepada orang sekitar.

Perintah tersebut mengacu pada peristiwa penyembelihan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim yang kemudian diganti dengan domba yang cukup besar. Perintah tersebut juga termaktub dalam Q.S Al Hajj ayat 34.

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ فَلَهُۥٓ أَسْلِمُوا۟ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُخْبِتِينَ

Artinya:

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)”.

Lalu bagaimana dengan hukum dalam melakukan kegiatan berkurban? Dalam Islam banyak perbedaan pendapat karena perbedaan madzhab. Hukum melaksanakan atau menghibahkan hewan kurban menurut jumhur ulama Syafi’iyyah, Hambaliyyah, Malikiyyah, Hanafi adalah sunnah muakkad atau sunnah yang paling dianjurkan untuk dilakukan.

Namun menurut ulama Imam Abu Hanifah adalah wajib bagi yang mampu, mampu disini adalah dalam artian kebutuhan sudah terpenuhi dan dapat mengeluarkan hewan kurban baik sapi, kambing, unta dan sebagainya baik untuk keluarganya maupun untuk orang lain. Sedangkan umumnya dalam hukum sunnahnya sendiri terbagi menjadi 2 hukum :

  1. Sunnah ‘Ainiyah : amalan sunnah yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang mampu secara finansial dengan mempertimbangkan kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi.
  2. Sunnah Kifayah : amalan sunnah yang dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki tanggung jawab dalam sebuah keluarga dengan memberikan hewan kurban 1 ekor atau 2 ekor sebagai bentuk amalan bagi semua anggota keluarga yang ada di dalam rumah.

Lalu bagaimana hukumnya dengan seseorang yang melakukan nadzar adalah wajib. Semua amalan yang dilakukan sebagai bentuk nadzar (janji) adalah wajib. Sedangkan hukum melaksanakan ndazar adalah mubah/diperbolehkan dalam Islam. Sedangkan ketika keadaan orang tersebut tidak melaksanakan nadzarnya maka sesuai dengan hadist adalah

“Denda Nadzar adalah denda sumpah” (HR Muslim).

Pembayaran denda karena melanggar nadzarnya sendiri adalah memberi makan 10 Faqir Miskin, memberi 10 pakaian terhadap fakir miskin, memerdekakan hamba sahaya dan yang terakhir adalah berpuasa selama tiga hari berturut-turut.

Memang terdengar mudah dalam menggantinya daripada harus melaksanakan nadzar kita secara utuh, namun perlu diingat bahwa nadzar seharusnya memang benar-benar harus dilaksanakan agar tidak menjadi dosa yang akan memberatkan kita di akhirat nanti. Nadzar adalah keinginan kita yang menjadi wajib karena harus dipenuhi oleh seseorang yang bernadzar tersebut.

Nadzar berkurban sejatinya dilakukan harus semata-mata mendekatkan kepada Allah, sedangkan tujuan nadzar sendiri adalah untuk syukur karena telah dipenuhi hajatnya oleh Allah atau karena sesuatu hal yang lain. Nadzar berkurban artinya harus berkurban ketika tiba waktunya idul adha sesuai dengan nadzar yang telah diucapkannya. Sejatinya memang nadzar tidak hanya melalui niatan hati.

Nadzar berkurban adalah kegiatan berkurban karena nadzar yang diucapkannya dan dapat berupa juga dengan apa yang diucapkannya misalkan

“karena aku mendapatkan seorang anak laki-laki aku akan berkurban di hari raya idul adha sebagai bentuk rasa syukurku berupa 1 ekor sapi”.

Namun perlu juga diingat, nadzar berkurban tidak boleh tanpa dipikirkan secara matang, mengingat berkurban memang ibadah yang dianjurkan oleh orang yang mampu. Ketika sudah bernazar dan kondisi finansial tidak mampu maka akan menjadi beban baginya sehingga bagaimanapun hukum berkurban karena nazar akan menjadi ibadah yang wajib.

Sehingga harus dipikirkan secara matang, bahwasanya nazar berkurban harus dipikirkan secara panjang dan tidak ceplas-ceplos agar tidak menjadi beban yang memberatkan.

Lalu bagaimanakah status kurban yang dilaksanakan karena sebab nazar? Seorang pakar fiqih Ustadz Ahmad Zarkasih menyatakan bahwa melalui kitab Kifayatul Akhyar yang ditulis oleh Imam Taqiyudin Abubakar bin Muhammad Al-Husaini Ad Dimasyqi Asy Syafi’i yaitu seseorang yang telah melaksanakan nazar kurban maka status hewan kurban tersebut adalah milik orang lain dan seseorang yang melaksanakan nazar tersebut sama sekali tidak boleh menikmati daging kurban tersebut.

Ustadz Zarkasih kemudian melanjutkan bahwasanya hewan kurban yang telah dinazarkan bagaikan seorang majikan yang telah membebaskan budaknya sehingga seorang majikan tersebut tidak mempunyai hak apapun atas budaknya. Kriteria lanjutan hewan yang menjadi hewan nazar kurban adalah tidak boleh cacat atau rusak sehingga harus diganti dengan yang sehat.

Selanjutnya kurban nazar yang telah dilaksanakan harus seluruhnya dibagikan kepada fakir dan miskin termasuk kulit hewan dan tanduknya, daging tersebut juga tidak boleh diberikan kepada orang yang mampu atau kaya secara finansial.

Kriteria daging yang rusak pula dapat disebabkan oleh kelalaian seseorang yang bernazar kurban karena tidak segera membagikan seluruh bagian hewan kurbannya kepada para fakir miskin sehingga dapat menjadi busuk maka dari itu wajib menggantinya. Ganti dari hewan tersebut dapat berupa daging pengganti maupun menyembelih kembali hewan kurban tersebut asalkan setara dengan apa yang telah dinazarkan sebelumnya.

Ada beberapa pertanyaan yang muncul ketika seseorang yang telah bernazar untuk berkurban terlanjur memakannya baik karena disengaja maupun karena kelalaian panitia yang membagikan. Dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar terdapat beberapa pendapat berkaitan dengan hal tersebut, namun semua sepakat bahwa seseorang yang bernazar tersebut harus menggantinya dengan daging yang setara namun tidak wajib untuk mengganti hewan kurban seluruhnya.

Pendapat paling kuat datang dari Imam Syafi’i bahwasanya cukup mengganti senilai daging yang dimakannya saja. Lalu apakah ada perbedaan dengan daging nazar dan tidak? Ya ada karena daging kurban yang tidak dinazarkan maka dapat memakannya dan sunnah hukumnya. Namun yang paling utama adalah hewan yang telah dikurbankan sebaiknya disedekahkan semuanya untuk fakir dan miskin.

Demikian hukum nazar berkurban untuk hari raya idul adha. Sejatinya semua nazar adalah bersifat wajib dan diperbolehkan dalam Islam. Namun perlu dicatat bahwa nazar harus dipikirkan secara matang karena denda seseorang yang telah bernazar sama dengan seseorang yang telah melanggar sumpahnya. Sejatinya memang nazar dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kita kepada nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.

Tidak boleh karena niat lain apalagi untuk menyekutukan Allah SWT. Begitu pula nazar bisa dilaksanakan melalui amalan kegiatan maupun benda secara fisik. Salah satunya adalah nazar untuk berkurban, sehingga yang awalnya kurban di hari raya idul adha adalah bersifat sunnah bagi orang-orang yang mampu saja bisa menjadi wajib bagi semua kalangan yang telah mengucapkan nazar untuk berkurban.

Wallahu A’lam

Satu Hati Sejuta Peduli

 

Baca juga :

Mengenal Allah dengan Al Qur’an

Hukum meratapi kematian dalam Islam

Fenomena meminta hujan dengan binatang

Ikuti kegiatan kami di @yasapeduli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *